Cintaku di Chemistry

Cintaku di Chemistry
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheuCqOO2uT47y9jlgKal7FCn24bJsfOnyZGwVddTBPSW6ER13IR4FDWZwI9KtX0oScISm7G1L6jL2EQDioNx5P127d2b29-4bP6PEdVXNGkBefpthMeLNhQNy2_jvHNkH7ldMwozwt7Js/s72-c/kiki.jpeg

Cintaku di Chemistry 

Oleh: Risyalah Diwandini

 
Cinta…
Laksana air mineral, yang terkena racun killerbee (serangga mematikan), dan kemudian membuat setiap orang yang meminumya mati Karena dehidrasi hebat.
Cinta…
Menyantap semua akal sehat setiap insan. Mengubah ractn menjadi sirup. Mengubah duri menjadi bunga. Mengubah seorang monster menjadi seorang putri. Membutakan apa yang seharusnya dapat terlihat nyata.
Itulah cinta…
***
“Selamat ulang tahun Kenza!” serentak teman-teman membuatku kaget. Satu persatu mereka mengulurkan tangan dan mengecup pipiku hangat. Tiada hari paling indah, selain hari ini, 12 September. Entah kenapa, bulan September adalah bulan yang membuatku merasa terlahir kembali. Apa mungkin karena bulan September adalah ulang tahunku?
Kado dengan pita warna-warni memenuhi bangkuku. Mulai dari yang berbentuk kubus berukuran kecil, sedang, sampai yang paling besar ada di sana. Motif gambarnya pun bermacam-macam. Ada yang bermotif beruang, garis- garis vertikal berwarna pelangi, bebek memegang balon, dan masih banyak lagi. Rupanya mereka tahu, aku menyukai warna pelangi. Tiba- tiba mataku mendarat pada sebuah kado yang unik sekaligus aneh. Bentuknya tidak terlalu besar dan warnanya pun tidak mencolok. Aku segera mengambilnya dan memperhatikan kotak itu. Ternyata pengirimnya membungkus kotak ini dengan daun kering yang telah berubah warna menjadi merah. Karena penasaran, segera  kubuka kotak itu perlahan. Sejurus kemudian, kutemukan kertas kecil di dalamnya yang bertuliskan “Kenza”. Sangat kaget aku dibuatnya. Siapa yang mengirimkan ini?
Tak ada nama pengirim yang tercantum di sini. Yang ada hanyalah namaku. Pikiranku mencoba mengingat-ingat, siapa di balik semua ini. Dan, yang hanya terpikir saat itu adalah
Mungkinkah….?              
***
              Pagi ini terasa sangat sejuk. Hawanya membawa sejuta kenyamanan. Tampak buliran air embun memenuhi kaca kelas XI IPA 3. Kelas istimewa yang diisi dengan orang- orang   istimewa pula. Aku mengamati sekitar kelasku dengan menyunggingkan senyum. Dari sini juga aku dapat melihat sekolah yang dalam dua tahun ini menemani hari- hari ku mencari ilmu. Bangunan berwarna hijau dengan sekat ruangan bercat kuning. Warna yang mengambarkan kenyamanan dan kedamaian bagi setiap mata yang memandangnya. Aku berdiri di depan kelas sambil menghirup udara dalam-dalam. Terasa dingin merambat sampai kerongkongan. Betapa besarnya nikmat yang telah Tuhan berikan. Nikmat bernafas, nikmat melihat, nikmat perasa, dan masih banyak lagi nikmat lain yang tak bisa di hitung dengan jari. Seandainya, salah satu nikmat itu dicabut, tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya.
              Ketika aku mulai terlena, tiba- tiba ada suatu benda mengenai kepalaku. “Aw” aku reflek mengaduh. Segera kupastikan benda apa yang dengan bebas mendarat di kepalaku ini. Ternyata hanya secarik kertas yang telah dilumat bulat. “Apa sih ini?” gerutuku dalam hati. Dengan beringas aku membukanya. Mungkin ini adalah ultimatum dari dewa yang baru saja jatuh dari langit. Atau mungkin sebuah wasiat angin yang memberitahukan ada sebuah harta karun terpendam. Aaah...pikiran aneh itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Aku jadi teringat kejadian Ponari yang konon kepalanya dijatuhi batu sakti, dan kemudian menjelma menjadi obat mujarab penyembuh segala penyakit. Setelah kubuka, ternyata isinya hanyalah sebuah kata yang memaksaku mengernyitkan dahi. Sebuah kata yang sangat kukenal tapi aku tak paham apa maksudnya. “Kenza” apa maksudnya? Dan siapa yang melempar ini? Gumamku dalam hati. Kejadian ini terulang dua kali. Sama seperti yang terjadi di hari ulang tahunku.
“Hei Za! Kamu kenapa? Ko kayak aneh gitu?” tanya Zuni.
“Eh, nggak ada apa-apa. Aku ngerasa aneh aja, dengan kejadian ini.”
“Kejadian? Kejadian apa? Kayaknya serius banget?” tanya Zuni dengan tampang penasaran.
“Lihat ini!” aku menyodorkan kertas  aneh itu kepada Zuni.
“Apa ini? Kenza? Maksudnya?”
“Maka dari itu, aku juga bingung. Ini sudah kedua kalinya aku dapat surat aneh seperti ini. Tidak ada nama pengirimya pula.”
“Mungkin penggemar rahasiamu, Kenza. Atau jangan-jangan si Yudha. Iya, bener, pasti Yudha!” dengan gaya ala paranormal Zuni membual.
“Heh ngawur kamu. Nggak mungkinlah ini Yudha. Kamu kan tahu sendiri kalau Yudha orangnya kayak gimana!” kataku sambil memukul bahunya.
Mustahil kalau ini adalah ulah Yudha. Ia tak pernah mau menyapaku walau hanya berkata “hai”. Padahal, sudah hampir dua tahun aku menjadi teman sekelasnya. Tapi, ia tak pernah sedikitpun menganggapku. Ia memang orang yang cuek sekaligus dingin. Ia juga jarang berbicara dengan teman-teman perempuan di kelas. Ia hanya mau berbicara seperlunya. Meskipun begitu, ia adalah anak yang pintar. Apalagi dalam pelajaran kimia. Bisa dikatakan, kalau kimia adalah bagian dari hidupnya. Dalam dirinya terdapat neutron yang bermuatan negatif. Karena jika  marah, ia akan seperti monster yang siap memangsa  setiap orang yang menghalangi pemandangannya. Ada juga proton yang bermuatan positif. Karena, ia termasuk anak yang sangat patuh dan juga taat pada semua guru di sini. Hem...sepertinya, semua bagian tubuhnya mengandung kimia. Kalau memang itu adalah ulah Yudha, aku akan sangat senang sekali. Dari kelas 1 diam-diam aku sudah menaruh hati padanya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa suka dengan Yudha. Tapi, sekalipun begitu, aku tak pernah mengatakannya. Karena aku tahu, ia tak suka berhubungan dengan makhluk yang namanya perempuan. Sungguh aneh.
Kriiing...kriiing...kriiing...
Bel tanda pelajaran usai. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagiku. Terik matahari seakan menjilat ubun-ubunku. Sinarnya yang panas membuat keringat di keningku mengucur deras. Antrian keluar di depan gerbang sekolah membuatku malas melangkahkan kaki. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu sampai volume manusia yang sekarang memadati jalanan pintu keluar menurun. Ku perhatikan langkah teman-temanku dengan seksama. Tiba-tiba, sesosok manusia yang sangat ku kenal datang menghampiriku. Seseorang yang membuatku gerogi jika berada di dekatnya. Satu-satunya orang yang tak pernah menyebut namaku dan tak pernah mengajakku bicara walau berada dalam satu kelas.
            “Nunggu siapa?”
“Oh...nu...nunggu...si...siapa? ehm...nggak nunggu siapa-siapa.” jawabku gugup.
“Nih, bersihkan dulu keringatmu itu!” ia menyodorkan tisunya kepadaku.
Mimpi apa aku semalam? Tak pernah sedikitpun terbayang dibenakku peristiwa seperti ini. Sungguh suatu keajaiban Yudha mau berbicara denganku. Menawarkan tisu pula.
Mungkin kepalanya sedang tersumbat sesuatu sehingga peredaran darahnya terganggu dan kemudian berlaku seperti ini. Atau mungkin kornea matanya sedang tidak beres, sehingga ia melihatku seperti melihat Aufal, teman sebangkunya. Atau mungkin saja, ia baru menyadari bahwa aku ini memang teman sekelasnya. Duh Gusti, mimpi di siang bolongkah aku sekarang?
Untuk memastikan itu, kucubit pipiku keras-keras.  “Aw” sangat sakit rupanya. Yudha yang melihat keanehanku tersenyum remeh. Akupun membalasnya dengan wajah tanpa dosa dengan sedikit cengiran khasku.
            “Jangan merasa aneh seperti itu!” Yudha mengawali.
“Aku tak merasa aneh, hanya saja aku bingung dengan sikapmu ini.” Jawabku
            “Oh, itu!” wajahnya berubah serius.
“Kenapa memanganya? Aku sangat kaget, tiba-tiba saja kamu mau berbicara denganku. Padahal, kalau di ingat-ingat, kamu tak pernah berbicara denganku selama kita satu kelas. Benarkan?”
“Memang!” jawabnya datar.
“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran.
“Suatu saat kamu pasti akan tahu sendiri kenapa aku bersikap seperti ini.”
Kemudian Yudha pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Aku baru sadar, kalau ia tak juga aneh, tapi juga misterius. Itu yang membuatku semakin ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Segera ku langkahkan kaki untuk pulang. “Suatu saat kamu pasti akan tahu sendiri kenapa aku bersikap seperti ini.” Kalimat itu seakan semakin jauh bermain-main dalam pikiranku.
Kurebahkan badanku di atas kasur yang berbalut seprei berwarna coklat. Ku ingat-ingat kemballi kalimat yang di ucapkan  Yudha. Mencoba menemukan apa maksud dari kata-katanya itu. Tapi, kepalaku tak bersahabat. Sore ini, langit berubah mendung di selimuti awan hitam. Sehitam jelaga. Gemuruh suara petir memekikkan telinga. Angin pertanda hujan badai  menampar pepohonan depan rumahku. Badanku ngeri di buatnya. Dalam ruangan gelap tak bercahaya ku pejamkan mata. Kepalaku terasa berat dan pening. Tubuhku seakan terbakar dan kakiku tak bisa bergerak. Semuanya tiba-tiba melemah. Mungkin malam ini aku tak akan bisa beraktifitas. Aku akan berlindung di bawah selimut tebal berwarna orangeku ini. Mengistirahatkan pikiran dan badanku. Sampai pagi menjelang.
“Hallo beb…! Kamu sakit apa? Parah nggak? Udah makan belum? Udah ke dokter? Terus kata dokter sakit apa?” tanpa koma Zuni menghujamku dengan pertanyaannya.
“Aduh Zun, kamu ini niat bikin aku sembuh, atau malah bikin aku tambah sakit?” kataku dengan nada memelas karena tubuhku masih belum stabil.
“Lho kenapa? Aku niat kesini kan mau jengukin kamu…! Nih liat..! aku bela-belain pulang sekolah langsung meluncur kerumah kamu. Aku khawatir banget Kenza ku sayang!” sergah Zuni dengan nada centilnya.
“Habisnya, kamu nanya nggak ada titik komanya. Aku jadi bingung mau jawab yang mana dulu.” Protesku pada Zuni.
“Ya maaf.” Jawab Zuni lemas.
“Hem…ku maafin. Aku sekarang udah agak mendingan dari pada tadi malem. Lagian penyakitku juga nggak terlalu parah, Cuma gejala flu biasa. Jadi kamu nggak usah khawatir.” Jelasku panjang lebar.
“Wah…baguslah! Aku kira parah banget. Oh ya Za, nih ada titipan buat kamu!” sambil menyodorkan kertas, Zuni tersenyum penuh makna.
“Apa ini?” tanyaku penasaran.
“Buka aja!” jawab Zuni singkat.
“Nama- nama yang terlampir di bawah ini adalah peserta bimbingam Olimpiade Kimia? Maksudnya apa Zun?”
“Aduh Miss LOL, alias Miss LOLA, gini lo sayang, ini adalah nama-nama yang bakalan ikutan bimibingan Olimpiade Kimia. Dari kelas kita diambil dua orang, yaitu kamu, Kenza Amalia and  Yudha Mubarrok. Berhubung satu minggu lagi ada Olimpiade Kimia tingkat nasional, sekolahan kita ngadain bimbingan itu dech. Ya…biar menang lagi kayak tahun kemarin. Keren kan?” cerocos Zuni.
Keren apanya? Secara, aku kan nggak canggih kalau masalah Kimia. Mana partnerku Yudha lagi. Gimana donk?” rengekku dengan nada malas.
“Heh…! Kamu ini nggak bersyukur ya! Setiap tahun rangking satu katanya nggak canggih. Wajarlah kalau kamu sama Yudha yang dipilih. Soalnya sama-sama pinternya. Kalau aku yang di pilih, itu baru nggak wajar. Udahlah, pokoknya kamu harus cepet sembuh. Biar besok langsung bisa ikutan bimbingan. Dan yang paling penting bisa ketemu sama Aa’ Yudha. Hahaha…!!!” goda Zuni yang membuat pipiku memerah.
***
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berangkat sekolah dengan bersemangat. Entah apa yang membuatku merasa lebih senang. Tapi yang terpenting, aku telah mendapatkan pelajaran dari sakit ku kemarin, kalau sehat adalah nikmat yang luar biasa.
Aku melangkahkan kaki menuju ruangan bertuliskan XI IPA 3. Kubuka pintu perlahan. Ternyata tak ada yang berbeda dengan teman-temanku hari ini. Tetap sama seperti sebelum aku sakit.
Rahma yang bermain dengan laptopnya, Via yang membaca novel kesukaannya, Sinta yang selalu rajin mengisi jurnal guru, dan masih banyak lagi. Tapi, tunggu dulu! Ada yang terlewatkan. Oh ya…si Yudha. Kemana anak itu, kenapa tak ada di kelas? Mataku mencoba menyisir setiap bangku kelas. Tapi hasilnya tetap sama. Tak ada tanda-tanda keberadaannya. Biasanya, dia selalu diam di bangkunya sambil membaca buku pelajaran yang akan di ajarkan nanti.
            “Woy…nyari siapa, Bu?” Zuni mengagetkanku.
            “Oh nggak nyari siapa-siapa!” aku mencoba mengalihkan muka.
“Ah yang bener? Tapi kayaknya ada bau-bau bohong nih!” sergah Zuni dengan mencubit pipiku yang memerah. Ternyata dia tau kalau aku sedang mencari Yudha.
“Beneran!” kataku meyakinkan meski aku tau Zuni tak akan percaya.
“Oh ya Za, aku lupa, kamu udah di tunggu sama Pak Makhrus di Lab Kimia, cepetan!”
Ngapain pagi-pagi ke Lab Kimia?” tanyaku heran.
“Ya ampun…! Ya ngapain lagi kalau bukan bimbingan!” pekik Zuni dengan suara cemprengnya.
“Hah…? Yang bener kamu? Ya udah aku ke sana dulu!” kataku sambil mengeluarkan buku paket Kimia dalam tasku.
“Ya udah sana buruan!” perintah Zuni.
Aku segera berlari menuju ruangan yang kira-kira berjarak 10 meter  dari kelasku. Dengan langkah penuh percaya diri, aku memasuki ruangan seluas 5 x 5 meter dengan dinding berwarna kuning dan sedikit hiasan tabel unsur Kimia.
`           “Maaf, Pak saya terlambat!” kataku dengan nada terengah-engah. Sekilas aku melihat sosok Yudha yang juga ternyata memerhatikanku.
            “Ya…silahkan duduk!” pinta Pak Makhrus dengan sedikit senyum di bibirnya.
            “Terimakasih, Pak!” sahutku tersenyum simpul.
Waktu berjalan selama lebih kurang dua jam. Akhirnya, Pak Makhrus mengakhiri bimbingan hari ini. Kami pun beranjak kembali ke kelas masing-masing. Aku melihat Yudha dengan tatapan mengajak. Yudha pun mengiyakan dengan anggukan kepala. Kemudian aku dan Yudha berjalan bersama. Ketika akan memasuki kelas, tiba-tiba Yudha memberikan selembar kertas berwarna pelangi kepadaku, kenudian beranjak meninggalkanku yang sedang kebingungan. Kubuka kertas itu dengan sejuta rasa penasaran. Yang kutemukan di sana adalah sebuah kalimat bertuliskan “Kutunggu di depan Lab Kimia sepulang sekolah.” Sejenak, jantungku berdesir kencang. Apa yang akan di lakukan Yudha nanti? Pikirku heran. Semoga ini pertanda baik bagi kelangsungan hidupku.
Seperti biasa, bel tanda usai pelajaran berbunyi nyaring. Secepat kilat Yudha keluar dengan menenteng tas cokl`tnya. Aku pun mengikutinya dari belakang.
            “Ada apa Yud?” tanyaku dengan tampang ketakutan.
“Hah? Mukamu kenapa? Biasa ajalah, jangan terlalu tegang begitu. Aku nggak akan macem-macem kok!” jawabnya tulus.
“Hahaha!! Emang kelihatan banget ya kalau aku takut?”
“Ya iyalah. Mukamu tuh lucu banget tau nggak sih! Kayak tikus kejepit pintu!” Yudha mengolokku sambil tertawa lepas. Tawa yang tak pernah kulihat selama ini. Kenapa dia jadi semakin aneh seperti ini? Aku semakin takut dibuatnya.
“Langsung aja ya..! Jadi begini, sebelumnya aku minta maaf atas semua perilaku ku selama ini. Aku sadar aku salah bersikap dingin di kelas. Tapi itu semua aku lakukan emang ada alasannya.”
;span style="color: #1d1b11;">Akhirnya Yudha menceritakan semuanya kepadaku. Ternyata kedua orang tua Yudha sudah bercerai sejak ia lulus kelas 3 SMP. Ia merasa dendam dengan ayahnya karena telah menduakan ibu tercintanya. Sejak saat itulah ia berubah menjadi anak yang pendiam dan susah bersosialisasi.
“Nah, sekarang kamu udah tau kan, kenapa aku bersikap seperti itu?” tanyanya memelas.
            “Ya, aku tau! Kamu pasti sangat  kecewa dengan ayahmu. Aku ikut sedih mendengarnya.”
Thanks, kamu udah mau ngerti aku. Sekarang, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Satu permintaan yang tidak terlalu memberatkanmu. Kamu hanya cukup menjawabnya “mau” atau “tidak”.”
“Apa itu?” tanyaku antusias. Karena aku tak sabar mendengarkan pertanyaan yang akan dia ucapkan kepadaku. Mungkin saja dia akan mengatakan cinta kepadaku. Oh my God, sebentar lagi impianku akan terwujud. Ternyata dia juga suka denganku. Pikirku penuh percaya diri.
“Aku ingin kamu menjadi sahabatku!”
“Apa? Sahabat? Hanya sahabat?” tanyaku dengan nada meninggi.
“Ya, hanya sahabat. Aku ingin kamu membantuku untuk mendekati Zuni. Hanya itu permintaanku. Bagaimana?”
Pertanyaanya membuatku mati kaku. Ternyata bayanganku tak seindah kenyatan.











Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger