JUST FOR YOU

JUST FOR YOU
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe7ZzNOu4PBQG3fIMh72iQtv4vxqaHu-bWG66-e88myC9NntX5qo7JapLEPTlA-VgqArhd-FjWYK67V2pXDMc6WkMk8hFHRriarDbAqa-yzr5b4e9S5Dz1-cCAD3VXmlCCK8c2eBI7C6U/s72-c/lolo.jpeg


JUST FOR YOU
Oleh: Risyalah Diwandini
Dentuman musik sholawat rebana membahana. Menambah suasana hiruk pikuk rumahku kental terasa. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru halaman rumah. Nampak puluhan orang datang sembari membawa amplop putih dan pulang dengan membawa bingkisan. Ya, hari ini adalah hari yang paling bermakna bagi adikku, Nafi’. Pasalnya, sunnah Rasululloh telah ia laksanakan dengan lancar. Meskipun umurnya masih terlampau sedikit, tapi ibuku tetap kukuh ingin melaksanakan acara ini secepat mungkin. Mumpung ada hari baik, kata beliau. Tiba-tiba dari arah kejauhan, aku melihat ibu melambaikan tangan menyuruhku mendekat. Mungkin ada sesuatu yang ingin beliau katakan. Secepat kilat aku menghampirinya.
“Ada apa, Bu?” tanyaku sopan.
“Tolong kamu lihat adikmu….!! Kasian dia sendirian di ruang tamu.”
“Baik, Bu..” jawabku dengan sedikit cengiran. Mungkin saat ini, Nafi’ tengah meratapi keadaannya yang bisa dibilang tak terlalu baik. Segera kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Ternyata dugaanku benar. Nafi’ duduk sembari mengerang-ngerang kesakitan.
“Kamu kenapa Fi’? Masak udah gede masih cengeng?” kataku menggoda.
“Kakak ini gimana sih? Di mana-mana orang dikhitan itu pasti sakit Kak!!” ujarnya seraya menahan sakit. Aku hanya tersenyum simpul melihat ekspresinya yang mirip dengan cucian kusut.
“Dapat hadiah apa dari Tante Lely? Tadi katanya Tante Lely ngasih sesuatu ke kamu!!”
“Dapat ini!!” Nafi’ menyodorkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang. Aku mengernyitkan dahi mencoba membaca tulisan yang tertera di sana. What? Aku membelalakkan mata tak percaya. “Zidan” bisikku lirih. Entah kenapa aku tak bisa menguasai diri. Debaran jantungku laksana genderang pertanda perang. Tiba-tiba bayangan Zidan memenuhi ruang kepalaku. Membuat kornea mataku buram akan semua pesonanya. Zidan Tsaqif. Ya, nama itu terus menggelayut dalam langit-langit jantungku. Hampir tiga tahun ini, aku memendam perasaan padanya. Tapi anehnya, aku sama sekali tak berani mengutarakannya.
“Kakak kenapa bengong?” kata- kata Nafi’ membawaku menjajaki alam sadar.
“Oh…hmm…nggak ada apa-apa adikku sayang. Songkoknya bagus ya!! Apalagi mereknya itu..!!” sahutku seraya tersenyum lebar.
***
Alunan sholawat burdah menghiasi indahnya pagi ini. Pertanda bel masuk akan segera berdering. Aku dan Via berjalan melewati koridor menuju kelas yang bertuliskan XII IPA 3. Kelas yang dalam tiga tahun ini menemani hari-hariku.
Kriiiinngg…krrriiinnggg….kriiinngg….
Tanpa komando, senandung asma’ul husnah yang kami dendangkan menyeruak memadati kelas. Kebiasaan ini kami lakukan acap kali akan memulai kegiatan belajar. Tiba-tiba dari arah luar, terdengar suara Pak Kasiman menggelegar.
“Tholiban na’udzubillah…!! Su’ul adzab..!! berapa kali kalian saya peringatkan. Berangkat sekolah harus memakai songkok…!!” karena penasaran, kami berdesakan keluar kelas untuk melihat apa yang terjadi di luar. Ternyata itu adalah beberapa siswa yang dihukum. Apalagi kalau bukan masalah songkok. Aku berniat untuk masuk kembali ke dalam kelas. Tapi tunggu dulu….bukankah itu…? Zidan? MasyaAllah…aku mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. Berharap itu adalah bayangan belaka.
“Sebagai hukumannya, saya akan memotong rambut kalian satu persatu. Dimulai dari Zidan…!!” oh my God. Ternyata benar itu adalah Zidan. Bagaimana bisa? Bukankah Zidan adalah anak yang baik nan rajin? Tapi kenapa dia kena hukum? Bejibun pertanyaan timbul dalam benakku. Tubuhku miris melihat helaian rambut Zidan melayang pasrah dihantam angin kemudian mendarat di atas tanah kosong. Kasihan sekali dia. Ketampanannya sedikit berkurang karena model rambut aneh itu. Botak sana, botak sini. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu.
***
Siang merambat amat letih. Sang surya nampaknya enggan meninggalkan singgahsananya. Membuat kulitku berubah layaknya bunglon. Terlihat dari warna pipiku yang berbeda. Putih langsat karena masih terlindungi kerudung creamku. Tapi untuk daerah hidung dan sekitarnya, tentu warnanya tak lagi putih langsat. Melainkan kecoklatan alias belang.
Pulang sekolah hari ini, aku berniat mengajak Via mencari sesuatu. Awalnya ia tak mau lantaran tempat yang kutuju jauh. Tapi sekuat tenaga kukeluarkan rayuan gombalku untuk merajuknya. Alhasil, mau juga ia mengantarku.
Sesampainya di tempat tujuanku, aku mencoba menanyakan kepada si penjaga toko barang yang kuinginkan. Namun ternyata benda yang kumaksud memang tak ada. Kuputuskan untuk mencari benda itu di toko lain. Hasilnya pun tetap sama, nihil. Aku mulai putus asa dengan pencarianku. Sepertinya benda yang kucari memang sangat langka. Tak berselang lama, aku teringat sesuatu. Bukankah waktu itu Nafi’ mengatakan kalau yang membeli songkok itu adalah Tante Lely? Kenapa tak terbersit olehku? Akhirnya kuputuskan untuk menelpon Tante Lely.
“Ha? Di Surabaya Tante? Jauh banget?”
“Iya Zara. Tante belinya di Surabaya. Soalnya di Jombang nggak ada merek yang seperti itu. Coba kamu ke sana aja.”
“Ya udah Tante, makasih.” Aku menutup pembicaraanku dengan sejuta kekecewaan. Bagaimana mungkin aku pergi ke sana? Mustahil.
“Aku siap bantuin kamu Zara!!” ujar Via meyakinkan. Mendengar perkataanya jantungku seakan melompat girang. “Makasih Vi..!” ucapku penuh haru.
***
Semoga ini bermanfaat untukmu Zidan. Aku tak bermaksud apa-apa padamu. Hanya saja aku kasihan melihatmu digundul waktu itu. Kayak pemain bola aja. Hehehhe….Disimpan baik-baik ya…! Jangan sampai kena Pak Kasiman lagi. Ok!! Aku segera melipat surat ini dan kuselipkan ke dalam kotak. Hari ini aku akan memberikan songkok ini pada Zidan. Tapi bagaimana caranya? Gilang, ya benar lewat Gilang. Kebetulan sekali ia tengah berjalan melewati koridor depan lab computer. “Gilang!!” panggilku lantang. Ia kemudian menoleh. “Aku minta tolong ya..!! berikan ini pada Zidan. Makasih.” Secepat mungkin kutinggalkan Gilang. Aku takut jika ada guru yang melihat. Bisa bahaya. Semoga perbuatanku ini tak melanggar aturan. Toh aku tak melakukan tindakan kriminal pondok alias ketemuan dengan lawan jenis. Tapi entahlah…
***
“Ditunggu kedatangannya di kamar kamtib. Saudari Zarana As Syifa. Secepatnya.” panggilan itu membuatku kehabisan darah. Wajahku pucat pasi. Kakiku gemetar tak kuat memopang berat tubuhku. Mungkin ini adalah balasan dari yang di atas. Maafkan aku ya Rabb…
“Apakah ini milikmu Zara?” Tanya salah satu pengurus keamanan. Ia menunjukkan kalung berwarna perak. Liontinnya berbentuk nama. Aku memicingkan mata mencoba mengeja hurufnya. DARA. “Bukan” jawabku datar. “Lalu punya siapa kalau bukan milikmu?” kali ini nadanya sedikit terangkat. Seram sekali. Batinku ngeri. “Seseorang menitipkan ini untukmu. Mungkin dia tak tau kalau aku ini anggota keamanan. Dia juga berpesan, ini adalah tanda terimakasihnya untukmu. Dan DARA itu adalah singkatan dari Zidan dan Zara. Sekarang kamu pasti tau Zara apa hukuman bagi santri yang melanggar peraturan.” aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tubuhku seakan lemas tak bernyawa. Nasib.





Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger