KEKASIH RAHASIA

KEKASIH RAHASIA
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoen0IrvE7Tvj2Pex9NcCs5uvpE24Hv_nEVawE_-zCoNiPg_O9nLyt1L9uzcfK3Rqn9K7YdkYy6MKTw2F03MIAaoCjjZKQAZU1p9lD_BmMnKzM87EQ1PEkS5gEph5mHZ_NYJMeabHB4Zw/s72-c/popo.jpeg


KEKASIH RAHASIA
Oleh: Risyalah Diwandini
Seorang pemuda berkulit hitam dan berbaju lusuh tengah asyik memainkan sapu lidinya. Sapu yang ia gerakkan menyeret beberapa sampah yang bertebaran di halaman pondok. Pemuda itu kemudian mengumpulkan dan memunguti sampah satu persatu. Sesekali bibirnya berkomat-kamit melafalkan sesuatu. Kata orang, pemuda itu sangat misterius. Ia tak pernah meninggalkan kebiasaannya berkomat-kamit ria. Meskipun dicap sebagai orang paling misterius di pondok pesantren, namun pemuda yang kerap dipanggil Kang Bakri itu, tak pernah sedikitpun mempermasalahkannya. Ia adalah salah satu abdi ndalem di Pondok pesantren Al Musthofa. Sebuah pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai terpandang di desa itu. Bakri ingin menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk pondok. Kecintaannya pada pondok pesantren tak perlu diragukan lagi. Tapi entah kenapa, semua orang melihatnya dengan sebelah mata. Bahkan kiainya sekalipun.
***
Siang yang meradang membuat sebagian masyarakat enggan melakoni pekerjaan. Mereka lebih memilih untuk duduk manis di depan pintu tua berwarna coklat seraya berkasak-kusuk ria. Tak sekali dua kali mereka melakukan hal itu. Melainkan berkali-kali. Bahkan ritual menunggu pak kiai keluar dari rumah itu pun, masuk dalam salah satu jadwal wajib mereka. Sangat miris jika melihat salah satu dari mereka terinjak-injak hanya karena berebut ingin mencium tangan pak kiai. Kepercayaan masyarakat awam. Jika menchum tangan seorang kiai akan mendapat barokah alias rejeki nomplok tanpa harus banting tulang. Tak berselang lama, pintu tua itu terbuka, hingga terdengar bunyi berkerit memecah penantian mereka. Belum sempat pak kiai menginjakkan kaki di ambang pintu, mereka telah lebih dulu menyerbu pak kiai. Bakri yang sudah siap dengan kuda-kudanya segera maju melindungi pak kiai. Namun, apalah daya seorang pemuda dekil bertubuh pendek itu. Tentu saja kekuatannya tak sebanding dengan puluhan manusia yang sekarang hampir memadati antero rumah. Kejadian seperti ini ia rasakan acap kali menjadi superhero untuk kiainya. Alhasil, muka dan seluruh badannya dipenuhi luka-luka lebam. Tapi itu tak menjadikannya gentar sedikitpun. Ketaatan dan kecintaannya pada pak kiai tetap terjaga. Dari semua abdi ndalem, hanya Bakrilah yang sangat perhatian pada kiainya. Ke mana pun pak kiai ingin pergi, di sampingnya akan selalu ada makhluk pendek, hitam, dekil, bernama Bakri. Untunglah Bakri masih punya kelebihan. Suara emasnya menjadikan ia muadzin di pondok pesantren itu. Ia tak pernah absen untuk mengumandangkan adzan. Hingga kejadian di suatu malam membuat bumi Al Musthofa gencar.
***
Malam merambat amat letih. Rintik hujan jatuh menggelitik bumi. Dalam kegelapan pekat, suara merdu sekelompok katak bersahutan, diiringi derap langkah tegas. Seorang pemuda berkulit hitam berbaju lusuh tengah berjalan meninggalkan pondok pesantren sembari menenteng cangkul. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada mata yang mengeja gelagatnya. Setelah yakin tak ada manusia lain yang bangun selain dirinya, Bakri memantapkan kaki pergi menuju tempat tujuannya. Hanya berselang beberapa menit, Bakri telah sampai ditempat itu. Ia memerhatikan sekeliling tempat itu. Semilir angin menggoyangkan pohon kamboja di sebelah kanan ia berdiri. Puluhan bahkan ratusan batu nisan telah siap menanti kedatangannya. Tentu saja nisan-nisan itu tak sendiri. Mereka ditemani oleh gundukan-gundukan tanah liat berwarna coklat kemerahan. Di sebelah kiri Bakri terdapat gubuk kecil yang di dalamnya berisikan sebuah keranda. Warnanya tak begitu jelas karena cahaya remang lampu kuning yang besarnya hampir menyamai telur ayam. Mungkin warnanya hijau, atau mungkin biru? Entahlah....
Tanpa pikir panjang, Bakri bergegas menggali tanah kosong di sekitar makam. Dan dengan lihai, ia mengayunkan cangkulnya. Hingga nampaklah lubang sedalam satu setengah meter dan panjang dua meter itu. Setelah merasa cukup, Bakri kemudian menghapus keringat yang mengalir di wajahnya. Bibirnya mengembang pertanda bahagia. Tanpa ia sadari, sepasang mata telah lama mengeja semua gelagatnya.
***
“Sumpah pak kiai...saya melihat dengan mata kepala saya sendiri....”
“Benar? Kamu tidak bohong Husen?” tanya pak kiai ngotot.
“Mboten pak kiai...saya melihat Kang Bakri tengah malam keluar dengan membawa cangkul dan ia pergi ke makam.” jelas Husen panjang lebar.
“Baiklah kalau begitu, panggil Bakri kemari.”
“Enjeh pak kiai…”




Beberapa menit kemudian, Bakri datang sembari tersenyum lebar.
“Wonten nopo pak kiai?” tanya Bakri sopan.
“Apakah benar, tadi malam kamu pergi ke makam?”
“Mboten pak kiai....”
“Kamu yakin kamu tidak bohong?” dengan nada menyelidik pak kiai menimpali.
“Insya Allah pak kiai. Kalaupun saya berbohong, itu adalah demi kemaslahatan kita bersama.” tutur Bakri mantap.
“Baiklah kalau begitu...aku percaya padamu Bakri. Jangan sampai kau sia-siakan kepercayaanku ini. Jika kau berbohong, aku tak segan-segan mengeluarkanmu dari pondok pesantren ini....” ancam pak kiai.
Setelah introgasi itu selesai, Bakri keluar dengan lesu. Nampak guratan menyesal tersirat dari wajahnya. Tak sepantasnya ia membohongi pak kiai. Ibarat virus, berita miring tentang Bakri cepat tersebar seantero pondok. Tak sedikit yang percaya dan tak sedikit pula yang menghujatnya. Tapi Bakri seolah tuli dengan itu semua.
***
Jarum jam menunjuk angka dua belas. Mulailah Bakri mengulangi aksinya. Ia berjalan seraya menenteng cangkul menuju makam. Ia menggali lubang layaknya malam-malam kemarin. Rupanya Husen masih penasaran dengan ulah Bakri. Ia mencoba memperkuat dugaannya. Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya adalah kenyataan, Husen berniat untuk melaporkan lagi perbuatan Bakri. Husen kemudian pulang dan menunggu hingga fajar tiba.
Rupanya rembulan telah payah membagikan sinarnya. Langitpun sudah tak lagi berwarna jelaga. Pertanda ayam jago akan segera mengumandangkan suara khasnya. Bakri yang menyadari hal itu, segera keluar dari liang lahat. Ia harus menginjakkan kaki di musholla sebelum semua santri bangun. Seperti biasa, suara adzan Bakri menggema, memecah lazuardi.
***
“Lagi-lagi ia tak mengakui perbuatannya. Jelas sekali bahwa ia pergi ke makam dan menggali lubang di sana. Ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus mengajak pak kiai melihat sendiri apa yang sebenarnya dilakukan Bakri.” umpat Husen setelah mendengar pengakuan Bakri kepada pak kiai untuk yang kedua kalinya.
Akhirnya, malam yang ditunggu-tunggu pun tiba. Husen bersama dengan pak kiai berniat membuntuti Bakri.
“Sudah saya duga pak kiai, Bakri adalah orang yang tidak beres. Lihat saja pak kiai, apa yang dilakukannya ini telah menyimpang dari syari’at Islam.” Dari kejauhan mereka memperhatikan Bakri. Dengan lihai Bakri mengayunkan cangkulnya. Ia kembali membuat liang lahat di tempat dan posisi yang sama. Kemudian pak kiai melihat Bakri masuk ke dalam liang lahat itu. “Apa yang dilakukannya?” pikir pak kiai heran.
Menit berganti jam. Nampak cahaya aurora di ufuk timur mengintip di balik angkuhnya Gunung Kelud. Kesabaran pak kiai telah berada di atas ubun-ubun . dengan langkah seribu pak kiai segera menghampiri Bakri.
Betapa terkejutnya paki kiai ketika melihat sosok Bakri terbaring seraya menengadahkan tangan. Berulang kali Bakri menyebut asma Allah, berdo’a, dan beristighfar. Matanya terpejam tapi lelehan air matanya terurai deras. Ia merintih meminta ampun atas dosa yang ia lakukan hari ini. Berkali-kali ia mengulangi kalimat yang sama. “Aku rindu bertemu dengan-Mu ya Raab.....Aku rindu bertemu dengan-Mu ya Raab.....aku siap jika Engkau memanggilku saat ini.... Aku telah siap ya Rabb....”
Mendengar ucapan Bakri, pak kiai menangis sejadinya. Betapa ia merasa dirinya adalah orang yang paling bodoh. Ia telah menganggap kekasih Allah layaknya barang yang tak ada harganya. Ia merasa dirinya lebih mulia di atas semua orang. Tapi kini keyakinan itu luruh bersamaan dengan rasa malu yang menyergap hatinya. Ia malu dengan Bakri. Ia malu dengan Allah. Setiap kali ia berdzikir, ia akan selalu berada di tempat yang terang, hangat, bersih, dan tentu saja tak mengeluarkan keringat. Ia merasa tak pernah sedikitpun mengingat untuk mati. Tapi Bakri....ia harus mengeluarkan beribu bahkan berjuta keringat untuk sekedar berdzikir kepada Allah. Berada di tempat yang gelap, dingin, dan kotor. Mengingat akan ajal, bahkan ia sudah siap jika Allah memanggilnya. Pak kiai menangis hingga air matanya terasa kering. Tiba-tiba muncul dalam kalbunya sebuah niat mulia. Ia harus meminta maaf atas semua prasangkanya pada Bakri. Tak cukup dengan itu, ia harus sujud pada Bakri. Kini ia berlutut seraya menunggu Bakri membuka matanya. Namun Allah telah lebih dulu mengabulkan permohonan Bakri. Diiringi dengan hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tempat itu, Bakri telah menghembuskan nafas terakhirnya.

“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang shaleh”
(QS. Al Qalam, Ayat: 50)





Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger