PENGORBANAN SEORANG PENGEMIS

PENGORBANAN SEORANG PENGEMIS
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglAdIstBb7bdmwZvA20_8ro6CxAFAKWqgHF4ncu8ZeQhfG9296pqFMl2QnRxUh0V8_3oC-KeJA_y-x3x8Xm1tmmbRzh3A6t4GCM5lVqkNjVuqb9LHfMHFg7BAX8BKC4z0fXu-b8JWaom0/s72-c/kuku.jpeg


PENGORBANAN SEORANG PENGEMIS
Oleh: Risyalah Diwandini
Ia kini berdiri gamang, menatap lalu lalang kendaraan yang sedari tadi mellintas di depannya tanpa permisi. Rambutnya yang kaku dan kusam karena sering terjamah sinar matahari, pasrah dihantam angin. Tampak bulatan hitam mengelilingi mata yang terlihat cekung dan layu itu. Tubuhnya pun semakin kurus. Hanya sekumpulan otot yang menyembul di balik kulitnya yang hitam sekaligus kasar. Penampilan yang sama sekali tak sedap dipandang mata. Ia segera melayangkan kakinya menuju trotoar. Menunggu lampu merah memberikan komando. Dan pada saatnya tiba, ia akan segera menodongkan kantung bekas permen pada orang kaya yang duduk santai di dalam mobil kesayangan mereka. Hari ini, ia harus mendapat recehan lebih banyak dari kemarin. Itu karena ia tak mau melihat ibunya terbaring lemas di atas tikar beralas koran. Ia harus membelikan obat untuk wanita tua itu. Jika tidak, mungkin nasibnya akan sama seperti nasib bapaknya. Meninggal karena radang paru-paru.
“Seikhlasnya, Pak...!!” anak laki-laki itu menyodorkan bungkus permennya dengan raut wajah memelas. Lama ia berdiri mematung menunggu tangan mulia itu memberikan recehan. Dikatakan mulia, karena selama ini jarang ia menemukan orang yang mau memberinya recehan, walau hanya lima ratus rupiah. Orang-orang kaya itu malah terkadang menghadiahinya dengan cercaan dan makian. Semoga kali ini keberuntungan berada dipihaknya. Tak lama berselang, laki-laki berjenggot yang ada di dalam mobil itu membuka kaca mobilnya. Ia tersenyum sembari memberikan selembar uang bergambar pahlawan Pattimura.
“Alhamdulillah, terimakasih Pak...!! Semoga amal baik anda diterima oleh Allah.” Anak laki-laki itu tersenyum lega menerima apa yang didapatinya. Sejurus kemudian, laki-laki berjenggot itu mengangguk dan berlalu pergi.
Siang ini sangat menyiksa. Matahari serasa berada di atas ubun-ubun. Sinarnya panas membakar kulit. Anak laki-laki itu duduk di bawah pohon mangga berteduh. Mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana pendeknya. Menghitung keping recehan dan lembaran uang yang ia dapat hari ini. Pikirannya kembali tertuju pada ibunya yang terbaring lemas di atas tikar beralas koran. Sebenarnya, ia sangat lapar, karena dari kemarin pun ia belum mengganjal perutnya. Tapi, ia urungkan niatnya mengingat ia harus segera pergi mencari obat.
Ia berdiri dan melihat setiap bangunan yang berada di sepanjang jalan. Kemudian matanya tertuju pada sebuah bangunan bertuliskan ‘Apotek Seger Waras’. Dengan langah kilat ia pergi menuju apotek. Membeli obat untuk ibunya, dan keluar dengan membawa plastik putih.
Dalam ruang sempit berdinding keropos, seorang wanita tua merebahkan tubuhnya sambil terbatuk-batuk. Ia melihat anak laki-lakinya berdiri di ambang pintu dengan lelehan air mata. Dengan langkah gontai, anak laki-laki itu menghampiri ibunya. Memberikan plastik putih dan sebungkus nasi.
“Apa ini, Nak? Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini sehingga kau membelikanku obat? Aku tak mau menerimanya jika kau membelinya dengan uang haram.” Suara berat ibunya memecah kegelapan.
“Demi Allah, Bu...!! Aku membelinya bukan dengan uang haram. Aku tak mau mencemari tubuh ibu dengan mengalirkan barang haram bersama dengan aliran darah ibu.” Anak laki-laki itu menjawab dengan suara bergetar. Ia tak kuasa melihat keadaan ibunya yang semakin hari kian memburuk. Ia takut kalau ibu tercintanya menyusul bapaknya yang telah lebih dulu pergi.
“Syukurlah jika itu pengakuanmu. Kau adalah anakku satu-satunya, Ahmad. Apakah kau sendiri sudah makan anakku?”
“Sudah, Bu...!! Aku sudah makan. Apakah ibu mau jika aku suapi? Setelah itu, minumlah obat ini supaya ibu segera sembuh.”
“Tak usah, Nak...!! Ibu tahu kau belum sholat. Segera laksanakan kewajibanmu terlebih dahulu. Jangan sampai kau meniggalkannya lantaran aku yang menjadi penyebab.”
Ahmad segera mengangguk dan pergi menuju musholla yang tak jauh dari gubuknya. Dalam do’a ia memohon ampun kepada Allah. Ia telah berbohong pada ibunya. Sampai detik ini, ia sama sekali belum menyentuh nasi. Uangnya telah habis untuk membeli obat yang tentu harganya tidak murah. Tapi ia tak mau membagi rasa nyeri di perutnya lantaran itu hanya akan membuat ibunya sedih. Biarlah saat ini ia yang merasakan sakit. Asalkan ibunya sehat seperti sediakala.
***
Senja sekarat di ambang malam. Sebentar lagi suara adzan maghrib menggema, memecah jagad, menghiasi alunan angin malam. Ahmad berniat pulang melihat keadaan ibunya. Ia membuka pintu yang terbuat dari seng. Mendorongnya hingga bunyi berkerit itu hilang. Tak tahu kenapa, malam ini perasaannya sangat nyaman dan damai. Ia juga mencium bau harum yang dibawa angin memasuki rumahnya. Bau harum yang tak pernah ia cium sebelumya.
“Sudah pulang, Nak..?” tanya wanita tua itu.
“Sudah, Bu...!!” jawabnya sembari tersenyum tulus, meskipun perutnya perih menahan lapar yang teramat sangat. Wanita tua itu merasakan sesuatu yang janggal dalam diri anaknya. Senyuman anak semata wayangnya itu sangat aneh. Wajahnya pun tak seperti biasanya. Wajah Ahmad tampak lebih cerah dengan baju taqwa yang dua tahun lalu dibelikan almarhum ayahnya. Sarung yang dipakainya itu, juga dari almarhum ayahnya.
“Kamu ingin pergi lagi, Nak...?”
“Iya, Bu...!! Aku ingin mencari uang untuk ibu. Aku ingin mencari pekerjaan agar ibu bisa hidup layak. Aku tak ingin selamanya menjadi pengemis, Bu!! Demi ibu, aku akan lebih bersemangat.” Mendengar kata-kata itu, ibunya menangis sesenggukan. Ia tak akan pernah lupa, betapa anaknya itu berjuang mencari pekerjaan. Walau hanya menjadi tukang cuci piring di sebuah warung. Tapi karena penampilannya yang seperti itu, anaknya kerap di perlakukan kasar oleh pemilik warung. Bahkan pernah, Ahmad di tendang hingga hidungnya mengeluarkan darah. Itu sama sekali tak membuat ia patah semangat.
“Ahmad pergi dulu, Bu...!! Ahmad minta maaf kalau selama ini menyusahkan ibu. Ahmad hanya ingin ibu kembali sehat.” Ahmad mencium tangan ibunya dengan hangat. Ibunya pun membalasnya dengan ciuman di kening. Air mata suci ibunya jatuh membasahi pipi Ahmad. Mengalir bersama guratan wajah lugu itu.
Ditengah perjalanan menuju kota, Ahmad merasakan perutnya seperti digilas truk bermuatan besi. Sangat perih dan sakit. Hampir tiga hari ia tak makan apapun. Hanya air putih dari kran yang ia teguk, pada saat selesai wudlu. Kepalanya tiba-tiba terasa pening dan matanya berkunang-kunang. Langkahnya pun mulai sempoyongan tak kuat menahan keseimbangan tubuhnya. Dari arah berlawanan, sebuah mobil pick up melaju kencang tanpa kendali siap menghantam tubuh kurus itu. Dan akhirnya.....braaaakkk.....!!! Ahmad terpental jauh dan kepalanya mendarat tepat di atas batu. Kepalanya mengeluarkan darah segar. Di bawah alam sadarnya, ia bertemu dengan laki-laki tua memakai sorban dan jubah putih. Laki-laki tua itu tersenyum lebar dan mengajak Ahmad untuk ikut pergi bersamanya. Ahmad pun mengikuti laki-laki tua itu menuju pintu yang memancarkan sinar keabadian. Dan denyut nadi pengemis mulia ini berhenti, diikuti dengan desahan nafas yang semakin lama semakin menghilang.
“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang shaleh”
(QS. Al Qalam, Ayat: 50)









Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger