PENCURI DONAT

PENCURI DONAT
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0AwjQN1vSxuagHiSd6O_U4J6_vlJAIgATXkb4mF1G_v3moH3VsbMfysBRMdaUeP0HaQ18xSlDrYwbo72U1JUhG0UycZTaQm1xfJbx2GUEGHpjP96oATPkVrQ7ua2kySlGIZ_3f2FHk84/s72-c/tutu.jpeg


PENCURI DONAT

Oleh: Risyalah Diwandini

Libur lebaran tahun ini, aku memutuskan untuk berlibur ke rumah nenek. Tepatnya di Kota Lamongan. Entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang special akan terjadi. Mungkin karena aku terbawa perasaan senang karena salam tempelku tahun ini bertambah tebal. Atau mungkin saja ada hal lain yang akan terjadi. Ah, masa bodoh dengan perasaanku.
Tiga hari kuhabiskan waktu di rumah nenekku dengan sebaik-baiknya. Berbagai macam kegiatan banyak kulakukan. Mulai dari pekerjaan rumah, sampai membantu nenekku membuat kue untuk toko bakerynya. Sangat menyenangkan bukan?
Setelah merasa lelah berada di dapur kue, akhirnya kuputuskan untuk istirahat sembari menjaga toko kue. “Sepi sekali sore ini, padahal tadi pagi antrian depan toko penuh.” Batinku. Melihat kue-kue itu, perutku seakan berkonser ria. Lapar sekali rasanya.
Ketika akan akan mengambil kue yang berada di atas loyang, tiba-tiba seorang pembeli datang.
“Eh…minta kuenya dong!!” serunya sembari menunjuk donat yang sedang kubawa.
“Minta? Beli dong!! Enak aja minta-minta!!” omelku nggak kalah ketus.
“Suka-suka akulah. Mau minta atau mau beli. Nggak ada urusannya sama kamu!” celoteh cowok itu nggak jelas.
“Ya ada lah…aku kan penjual di sini. Sedangkan kamu? Dateng-dateng langsung nodong minta kue!”
“Alah…banyak omong kamu! Mana donatnya!!”
Belum sempat aku membuka mulut, cowok itu telah merampas donatku dan melahapnya. Dengan mulut penuh donat, ia tersenyum sembari berterima kasih dan kemudian berlalu pergi. Aku yang masih shock dengan kejadian itu tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Berbagai pertanyaan timbul di benakku. Siapa cowok gila itu? Tiba-tiba datang dan merampas kue donatku. Tampangnya sih lumayan ganteng. Tapi kelakuannya itu kayak perampok. Dasar orang sinting. Awas kalau ketemu lagi. Umpatku dalam hati.

***

Malam ini terasa sangat renyah. Rembulan memancarkan cahayanya dengan gamblang. Semilir angin yang menerpa wajahku, seakan membelai lembut pipiku. Suara jangkrik yang saling bersahutan mengiringi tiap langkahku. Tentu saja, malam ini aku akan berkunjung ke rumah saudara bersama mama dan papaku. Kata mama, memang kami berstatus sebagai saudara, tapi tepatnya saudara jauh.
Rumah saudaraku itu tak terlampau jauh dari rumah nenek. Hanya berjarak 200 m. Sepanjang perjalanan kepalaku masih dipenuhi dengan kejadian tadi sore. Bulu kudukku seakan bergidik jika teringat cowok sinting itu. Seumur hidupku, belum pernah aku menemukan cowok yang pergi tanpa dosa setelah berhasil mengambil paksa makanan orang lain. Mama ynag melihatku melamun, segera menghampiriku.
“Alfi kok masih bengong sih? Ayo cepetan masuk…”
“Eh..h..ya, Ma…!!” jawabku gelagapan.
Setelah lama berbincang-bincang di ruang tamu dengan tante Ani, ternyata aku merasa bosan juga. Kuputuskan untuk keluar rumah dengan alasan ingin menghirup udara segar.
“Hemm…lebih nyaman di sini. Di dalam hawanya panas banget. Mana mama sama papa ngomongin masalah kerjaan sama tante Ani. Bosen juga jadinya.”
Seperti merasa bebas, aku berdiri di depan teras sembari meregangkan otot-ototku yang kaku bak kawat besi. Sesekali aku memutar-mutar punggung dan juga tanganku. Kemudian mendendangkan lagu Korea favoritku.
“Hmm…ternyata suaraku merdu juga. Nggak salah kalau temen-temen muji. Hehehe.”
“Huahahaha….!!!”
Tiba-tiba seorang cowok tertawa terbahak-bahak. Aku sangat kaget dibuatnya. Tunggu sebentar…sepertinya aku mengenal suara itu. Semoga dugaanku salah. Untuk memastikan hal mengerikan itu, aku segera menoleh ke sumber suara.
“Kamu? Ngapain kamu ada di sini?” tanyaku dengan mata hampir jatuh.
“Hahaha…dasar cewek aneh. Kamu sendiri ngapain olahraga malem-malem gini? Pakek nyanyi-nyanyi segala. Tau nggak? Kayaknya temen-temenmu itu telinganya pada error deh..!! Suara kayak ayam begitu dibilang merdu. Hahaha…!!”
“Eh…sembarangan banget ngatain temenku kayak gitu. Otakmu tuh yang error. Dasar pencuri donat!!”
“Terserahlah….”
“Eh..sejak kapan kamu ada di situ?” tanyaku penasaran.
“Terserah aku dong..!! Ini rumahku..en dari tadi aku udah ada di sini.” jawabnya enteng.
“Ha? Rumahmu? Nggak mungkin. Ini kan rumahnya Tante Ani.”
“Tante Ani itu ibuku dodol…!!”
Seribu tangan telah menampar mukaku. Darahku seakan berhenti mengalir mendengar ucapannya. Benarkah Tante Ani itu ibunya? Oh my God.
“Ada apa sih kok rame-rame?”
Tante Ani yang keluar dari rumah diikuti mama bertanya dengan wajah panik.
“Ada apa Alfi?” mama menimpali.
“Oh…nggak ada apa-apa kok, Ma…!!”
“Syarif juga ada di sini ternyata. Ooh …jadi kalian sudah saling kenal?”

Siapa nama cowok itu? Syarif? Dan emang bener dia anaknya Tante Ani? Duh Gusti…kenapa bisa mbulet begini…


***

Memasuki hari ke lima aku berada di rumah nenek. Seperti biasa, kegiatan membantu nenek berjualan di toko harus kulakoni dengan baik hari ini. Sebenarnya, aku ingin mengatakan kepada nenek kalau hari ini aku ingin cuti. Hehehe (kayak pekerja kantoran aja minta cuti). Aku ingin ke pantai untuk sekedar refreshing. Tapi, secepat mungkin kuurungkan niatku. Mama dan papa pasti tidak akan membiarkanku pergi sendiri. Jadilah aku penjaga toko donat yang setia pada majikannya. Nasib!
“Heh…ngelamun aja..!! Ntar kesambet ..!!”
Suara nyaring itu. Syarif. Sedikit cengiran di wajah tampannya. Mau nggak mau aku harus mengakui kalau Syarif memang tampan. Bahkan sangat tampan. Kulitnya bersih dan badannya atletis. Tapi kalau ingat kelakuannya itu, malas sekali aku mengesahkan pengakuanku tadi. Huh!!
“Males..” selorohku sewot.
“Dari pada duduk terdiam di sini. Mendingan kita jalan-jalan ke pantai.” ajaknya penuh semangat.
Mendengar kata pantai, telinga dan mataku seakan menggelinding ke lantai. Kaget. Kesempatan yang bagus sekali. Sesuai dengan keinginanku. Tapi aku harus menimbang-nimbang lagi jika harus pergi dengan cowok ini. Bisa-bisa aku mati darah tinggi dibuatnya.
“Udah…pergi aja Alfi. Kamu kan belum jalan-jalan. Mumpung Syarif mau nganterin.” kata Tante Ani sembari menata donat-donatnya.
“Tapi Tante….”
“Tapi kenapa? Takut sama mama papamu? Udah nggak usah khawatir, nanti tante bilangin sama mereka. Udah sana pergi!!”
Tanpa basa-basi lagi, Syarif menarik tanganku meninggalkan toko. Entah kenapa aku tak bisa melawan tindakannya itu. Lidah dan tanganku kelu. Dan kenapa di saat yang seperti ini, tanganku merasa sangat nyaman berada dalam genggaman Syarif. Perasaanku tiba-tiba tak menentu. Antara senang dan kesal.
Senang? Kenapa aku bisa senang? Tak sepantasnya aku mempunyai perasaan ini.
Setelah menjejakkan ingatan ke alam sadarku, aku segera melepaskan genggamannya.
“Aduuh…apa-apaan sih? Sakit tau…!! Aku bisa jalan sendiri..!!” seruku penuh emosi.
“Berisik….cepetan naik!!” suruhnya mantap.
Enak sekali ia memerintahku seperti itu. Seperti majikan menyuruh hewan peliharaan.
“Mau kemana?” protesku kesal.
“Ya ke pantailah…mau ke mana lagi emangnya?”
“Naik motor?”
“Ya sayang…!!” ia kemudian tersenyum.
Apa tadi dia bilang? Sayang? Iihh…amit-amit deh..ngapain coba dia manggil kayak gitu.
Tapi, kenapa hatiku seperti akan melompat girang?
Dan kemudian deru suara motor berjalan beriringan denagn detak jantungku yang semakin lama semakin express.

***

Subhanallah...
Indah sekali pemandangan di sini. Bola mataku tak henti-hentinya tertawa riang melihat keindahan yang tak lain adalah setitik dari penciptaan sang kreator alam. Sungguh dialah yang maha segalanya. Pemilik sah 99 sifat sempurna, Asmaul Husna.
Tampak deburan ombak lincah berkejaran. Meliuk-liuk menyisir hamparan samudra banyu. Tak ada batas menghalangi pandanganku. Semuanya terasa bebas.
“Jika aku memandang jutaan air terkurai bebas di sana, aku merasa semua beban yang ada dalam hatiku lenyap tersapu ombak. Terasa enteng dan bebas. Dan setiap kali aku punya masalah, aku selalu menumpahkannya di sini. Di tempat inilah aku me-refresh pikiranku. Bukankah kamu juga merasakan hal yang sama?”
Kata-kata Syarif membuatku terenyuh. Baru kali ini aku melihat ekspresi di wajahnya berubah menjadi sendu. Ternyata dibalik sosoknya yang menjengkelkan dan sembrono, Syarif juga memiliki kepribadian yang hangat.
“He’em....” Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“Kadang kala aku merasa takut jika sesuatu yang selama ini aku impikan tidak akan pernah terealisasi. Aku takut kepada orang tuaku. Aku takut mereka tidak akan menyetujui keinginanku ini.” Raut wajahnya berubah sedih.
“Keinginan apa maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Cita-citaku untuk mengabdi kepada negara. Pekerjaan yang membutuhkan keberanian dan mental yang cukup besar. Dan karena alasan itulah mungkin orng tuaku tidak akan meridloiku.” Katanya datar.
“Emang kamu udah nanya sama Tante Ani?”
“Belum...”
“Sesuatu yang belum kamu ketahui jawabannya dengan mudah kamu anggap sebagai halangan. Apakah orang tuamu akan melarang jika itu demi kebaikanmu?
Semua orang tua di dunia ini akan mendukung apapun keinginan kita jika emang itu berdampak positif bagi kita dan juga orang lain. Kalaupun emang mereka tidak setuju, bukan berarti kita tidak akan selamanya menggapai impian kita kan?
Kita harus bisa meluruskan apa yang sebenarnya menjadi keinginan kita dan orang tua kita.”
Dengan nada sok menggurui, aku berkata panjang lebar. Tentu saja ia sangat kaget dengan perubahan sikapku bak Bung Tomo yang membakar semangat arek Suroboyo dengan pidatonya. Sejenak ia memandang ke arahku sembari tersenyum.entah apa makna dari senyumannya itu. Tapi yang pasti, setiap kali ia tersenyum padaku, desiran di dadaku semakin bergemuruh mencoba membobol perasaanku. Kenapa aku tak bisa menahannya? Maafkan aku Syarif. Tak sepantasnya aku memiliki perasaan ini.

***

Sejak kejadian saat itu, kedekatanku dengan Syarif bertambah level. Semakin terasa lama dan ketagihan. Aku dan Syarif bak magnet yang yang jika didekatkan tak akan mudah dipisah. Harus kuakui aku telah terserang virus merah jambu. Seandainya aku tak bisa mengobatinya, pastilah hatiku akan habis digerogoti virus itu. Tapi setelah kupikir-pikir biarlah virus itu terus berkembang dan merajai perasaanku. Toh, virus itu tak menyebabkan kematian. Lagi pula ada saja cara untuk berbagi kangen dengan Syarif. Ya, meskipun saat ini aku sudah menapaki rumahku lagi, aku masih bisa berkomunikasi dengannya melalui handphone. Sedih sekali rasanya tak bisa bersua. Sampai pikiran dan hatiku habis terkuras dengan bayangan kinclong wajah Syarif.
Hari menggilas minggu. Hingga akhirnya minggu pun termakan oleh bulan. Genap sudah empat bulan masa pendekatanku dengan Syarif. Masa yang selamanya akan menemani indahku. Itu selalu menjadi harapan yang paten dalam otakku. Tanpa sadar, banyak sekali orang yang menentang kebahagiaanku ini. Termasuk mamaku. Orang yang selama ini mengorbankan separuh hidupnya untuk memupukku. Mama tak mau aku jatuh cinta pada saudaraku sendiri. Ia juga sempat mengharamkan aku untuk terus berkomunikasi dengan Syarif. Semuanya tak adil. Mengapa di saat kebahagiaan hinggap, mama menjelma menjadi makhluk jahat yang mengusirnya? Dimana letak kesalahanku? Hingga mama mengatakan kalau batin dan mata telanjangku telah terbalut cinta buta. Aku masih sangat ingat betul bagaimana mama mengatakan itu setelah ia membaca sms Syarif. Berisi tentang janji Syarif kepadaku. Janji untuk mengkhitbahku setelah ia berhasil menggapai mimpinya. Ternyata, semua omongannya itu tak menjadi bualan semata. Syarif menghilang dalam kehidupanku tiga bulan lamanya. Tak ada kabar dari keluarganya. Tak ada telpon dan sms darinya. Lebih parahnya lagi, ia tak memberitahuku perihal kemana dan apa cita-citanya.
Ya Rabb....
Dosakah aku jika aku melabuhkan cintaku ini pada Syarif?
Cemburukah Engkau jika rasa cintaku ini begitu besar pada-Nya?
Ku mohon ya Rahmaan....
Pertemukan aku dengannya
Aku tak bisa membendung lagi perasaan ini
Aku semakin terjerembab.....
Seharusnya aku berkonsentrasi untuk menghadapi Ujian Nasional yang bulan depan akan segera menghampiriku. Tapi jika masalah ini yang Engkau hadapkan kepadaku, aku takut tak bisa menerima dengan ikhlas.
Ampuni aku ya Rabb....
Ampuni aku....

***

Tuntas sudah Ujian Nasionalku. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Sekarang aku harus berpikir keras untuk masa depanku. Aku tak boleh melihat ke belakang lebih lama. Karena itu akan membuat hatiku semakin miris.
Syarif....
Lagi-lagi bayanganmu tak bisa kuusir begitu saja. Aku hanya ingin mengatakan kabar bahagia ini kepadamu. Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan aku diterima di universitas yang aku inginkan. Aku sempat berpikir kalau aku tak akan bisa berperang demi kelulusanku. Tapi, mama dan papa terus mensuportku.
Lalu bagaimana kabarmu? Sedang apa kau di sana? Masih ingatkah kau dengan janjimu?
Bertubi-tubi pertanyaan di benakku timbul meronta meminta jawaban. Mereka menghancurkan kerak cintaku dan berusaha meluruhkannya. Mereka menghasutku dan membisikkanku kata-kata yang tak ingin kudengar. Syarif telah melupakanmu. Ia bahkan tak ingat dengan janjinya. Tidaaaaaaaakkk.....
“Tok...tok...tok... Assalamu’alaikum...”
Tiba-tiba seseorang mengetok pintu rumah. Membuatku berjingkat kaget. Siapa sih malem-malem gini...? Segera kupercepat langkahku.
“Eh...Tante Ani sama Om Faruq, monggo masuk. Tumben malem-malem ke sini Tante. Ada perlu apa?”
“Mama sama papamu ada Fi?”
“Oh...ada Tante, sebentar ya...Alfi panggilkan...”
Belum sempat kau berdiri, aku melihat seseorang yang sangat kukenal berdiri di ambang pintu. Seseorang yang mengacaukan pikiranku. Seseorang yang menabur benih cinta dalam ladang hatiku.
Syarif...
Kakiku seakan lumpuh tak bisa bergerak. Mataku terus menatap tak percaya pada sosok yang sekarang ini memenuhi kornea mataku. Badanku kelu tapi hatiku melompat-lompat kegirangan. Di dalamnya terdengar tepuk tangan membahana memenuhi ruang hatiku.
“Ada tamu rupanya....tumben dateng malem-malem An?...Pasti ada hal penting.”
Dari belakang suara mama membawaku kembali ke alam sadar.
“Iya, gini lho...kedatanganku ke sini ingin menyampaikan sesuatu yang menjadi keinginan Syarif.” ucap Tante Ani dengan lembut.
“Syarif...? Kamu kemana aja tiga bulan terakhir ini? Katanya nggak di rumah...” tanya mama kaget.
“Ya tante...saya persiapan buat masuk TNI AL. Kebetulan memang saya rahasiakan. Karena takut mama sama papa tidak akan setuju. Tapi ternyata beliau menyetujui bahkan sangat mendukung keputusan saya. Ini semua berkat seseorang yang telah menyemangati dan meyakinkan saya untuk selalu positive thinking.”
Mendengar penuturan Syarif, hatiku terasa lega. Pertanyaan yang selama ini memberontak meminta jawaban akhirnya kesampaian. Aku hanya bisa tersenyum memandangnya penuh arti.
“Dan niatan saya untuk kemari adalah ingin mengkhitbah Alfi....”
Betapa terkejutnya mama mendengar kata-kata terakhir Syarif. Tampak raut muka mama berubah gusar. Ruangan hening seketika. Aku yang hanya bisa diam pasrah menunggu amukan mama. Untung saja papa tak ikut andil dalam penentangan ini. Papa hanya memandangku dengan tatapan layunya kemudian mengangguk sembari tersenyum tulus.
“Tapi bukankah pernikahan antar saudara itu diharamkan? Allah akan melaknat bagi semua hamba yang melanggar. Maaf Syarif, saya sangat menghargai niat baikmu itu. Tapi apakah tak sebaiknya kau pikir lagi?” kamu harus ingat... Alfi itu saudaramu...”
Sudah kuduga mama akan berbicara seperti itu ruangan yang semakin memanas ini kembali hening.
“Sebelumnya saya minta maaf ini terlalu cepat. Tapi saya bersungguh-sungguh tante. Mungkin tante belum mengetahui status saya di keluarga ini. Biar saya jelaskan terlebih dulu. Memang Allah telah melarang pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung ataupun saudara dekat lainnya. Karena itu akan berdampak buruk bagi anak turun pasangan tersebut. Saya berani mengkhitbah Alfi karena saya tau bahwa saya bukanlah anak kandung dari mama dan papa. Sejak bayi saya memang diasuh dan dibesarkan oleh mama Ani. Mama Ani mengadopsi saya menjadi anaknya.....”
Seterusnya Syarif menceritakan panjang lebar asal usulnya. Ia juga mengatakan kalau aku dan Syarif termasuk saudara jauh. Jadi, dalam Islam tak ada masalah jika ia menikahiku.
Mama menganggukkan kepala tanda mengerti. Kemudian mama melirik ke arah papa dan dengan tenang mama membuka mulutnya.
“Saya tidak setuju.........”
Kata-kata mama membuatku tercekik. Nafasku berhenti di kerongkongan. Suara keras detak jantungku beriringan dengan keringat Syarif yang mengalir menyerupai biji jagung.
“Saya tidak setuju........jika kalian tidak menikah...”
Lama aku mencerna kata-kata mama. Setelah sadar, aku segera menghambur ke arah mama dan menciumi pipinya berkali-kali. Ternyata mama memang sayang padaku.
“Makasih ma......” ucapku penuh haru.

Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger