TAKDIR YANG MENDAHULUI

TAKDIR YANG MENDAHULUI
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirR5h70Asa9IoOKDM0HxeI9dazblDMzJi0UI-FUkVi8SqnxIZ7wBCgFT9mlAO8EyLOIIh6D2rGH1oDMI8AHyRrZ_C8aeVU0IB_l0K3oR4hO6Wg7C6QXNQiJQ8kjr1JwK6U9iMvLD-uHGk/s72-c/koko.jpeg


TAKDIR YANG MENDAHULUI
Oleh: Risyalah Diwandini

Suara nyaring ayam terdengar saling bersahutan. Sang surya mengintip malu di balik angkuhnya Gunung Arjuna. Terlihat vertikal arah serbuan embun di balik jendela. Serta gumpalan kabut yang menghalangi penglihatan mata, ternyata semakin menambah sejuk Kota Malang pagi ini. Tak jauh dari itu, lalu lalang orang di sepanjang jalanan Kota Malang, tak lain hanya untuk memenuhi hajatnya masing- masing. Sama halnya dengan Reva. Gadis berparas cantik yang juga alumni Pondok Pesantren Tambak Beras itu segera menyambar motor maticnya menuju toko yang bertuliskan Via Bakery. Semenjak ayahnya meninggal, ialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Pagi bekerja. Siang kuliah. Kesibukan yang sama sekali tak pernah mematahkan semangatnya. Sifat pantang menyerah dan tegar yang sejak kecil di tanamkan ayahnya selalu melekat pada diri gadis itu.
“Reva, handphone kamu bunyi tuh! Kalau naruh hp jangan sembarangan donk sayang!! Mana naruhnya di atas meja kasir lagi!!!” teriak salah seorang teman kerjanya.
“Oh ya maaf Nad, aku lupa tadi habis dari kamar mandi terus aku taruh situ , coba lihat dari siapa Nad!!”
“Nggak muncul namanya Va!! tapi sepertinya ini nomor telpon Mesir.” kata Nadia.
Mendengar kata Mesir, hatinya pun merekah bak bunga mawar yang baru bangun dari masa kuncupnya. Dengan langkah kilat ia menyambar handphone nya yang sedari tadi setia menunggu kedatanganya.
“Assalamu’alaikum,” suara bening dari seberang mengawali.
"Wa’alaikumsalam,” balas Reva.
“Ukhti, maaf saya mengganggu, saya hanya ingin tahu kabar ukhti. Lama sekali ukhti tidak memberi kabar.”
Suara lembut lelaki itu mulai menjalar ke dalam telinga Reva. Terekam jelas.
“Hem, maaf akhi, tapi alhamdulillah kabar saya baik. Bagaimana dengan akhi?”
“Alhamdulillah, baik,”
Perlahan perasaan itu kembali memasuki pikiran dan hati Reva. Perasaan rindu yang mendalam. Perasaan yang dipendam 6 tahun lamanya. Perasaan yang membuatnya menolak untuk menerima hati dari orang lain. Perasaan yang dimiliki oleh seorang Hawa, yang sabar menunggu kedatangan Adam.
“Bagaimana kuliah akhi di sana?” sambung Reva.
“Alhamdulillah lancar ukhti. Tapi, ada hal penting yang akan saya sampaikan selain itu.” Jawabnya.
“Apa itu akhi?”
“Satu bulan lagi saya akan di wisuda. Setelah itu kembali ke Indonesia. saya ingin mengkhitbah ukhti. Saya akan berbicara dengan orang tua ukhti.” Jelas Salman.
Lelaki yang selama ini ia harapkan kedatangannya. Lelaki yang menjadi idamannya. Ia seperti tersengat arus listrik 220 volt. Perasaan kaget, senang, dan galau bercampur menjadi satu. Bibirnya kaku untuk menjawab. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia tak tahu harus berbicara apa. Ia teringat ketika menimba ilmu di Pondok pesantren Tambak Beras. Ia hanya bisa memandangi Salman dari kejauhan saja. Sebenarnya, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya sejak dulu. Namun, karena statusnya sebagai santri, maka ia urungkan niatnya dan kembali menata hati. Yang ada dalam nuraninya adalah ia percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan.
Dikerahkan seluruh keberanian pada diri gadis itu. Dengan bibir bergetar ia menjawab.
“Alhamdulillahirabbil’ alamin, sungguh kuasa Mu ya Allah. Insya Allah saya akan sabar menunggu.”
“Terimakasih ukhti. Wassalamu’alaikum.” Salman mengakhiri.
“Wa’alaikumsalam.”

***

Salman adalah orang yang alim dan taat beribadah. Meskipun dikenal pendiam, tapi ia selalu aktif dalam organisasi pondok pesantren. Tak ayal jika ia dikenal banyak orang. Setelah lulus, ia langsung melanjutkan ke perguruan tinggi Mesir. Karena pamannya adalah pemilik pondok pesantren itu, pamannya tahu betul bagaimana santrinya. Dan tak dapat dipungkiri lagi bahwa salah satu santrinya, Reva Nihayatul Kamal, bukan hanya dikenal sebagai orang yang taat, tapi juga cantik dan cerdas. Hari telah habis termakan rakusnya waktu. Sampai berganti minggu. Hingga tanpa pernah disadari, moment yang sangat dinantikan Reva akan menghampirinya 3 hari lagi. Tak bisa digambarkan bagaimana perasaannya saat itu. Bahkan, jika Leonardo Da Vinci, pelukis terkenal dengan sejuta keistimewaan yang dimilikinya, dan menghasilkan lukisan Monalisa pun tak dapat melukiskan suasana hati Reva saat ini. Berkali- kali kalbunya melantunkan syair mahabbah menyerupai karya penyair Kahlil Gibran, yang menuliskan kata- kata indah menyentuh nurani. Beginilah orang yang dimabuk cinta. Ia berani menempatkan kedudukan Salman pada urutan ke 4 setelah cintanya kepada Tuhannya, rasulnya, dan orang tuanya. Berbagai persiapan telah ia lakukan untuk menyambut hari paling indah yang sebentar lagi tertanam dalam hidupnya. Tak tahu kenapa malam itu adalah malam yang menegangkan bagi Reva. Di dalam kamarnya, ia merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. Entah apa itu. Apa karena akan bertemu dengan Salman? Sehingga aku merasa gerogi. Gumamnya dalam hati. Rembulan yang melihatnya pun merasa resah. Sinarnya masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Serupa akan menyampaikan sesuatu. Semilir angin menyibakkan dedaunan. Tiba- tiba...kreeek...suara pintu kamar Reva. Ternyata, ibunya masuk dengan membawa bungkusan berbalut koran. Reva memicingkan mata. Memerhatikan apa yang ada di tangan ibunya. Diperhatikannya setiap langkah ibu tercintanya itu. Sambil melangkah gontai ibunya tersenyum tulus. Wanita yang rambutnya hampir memutih itu, menatap Reva dengan tatapan layu. Ia tahu betul bahwa anak yang ada di hadapanya saat ini merasakan perasaan yang sama dengan dirinya. Tangan keriputnya membelai halus rambut hitam Reva.
”Nak, ibu punya sesuatu untukmu.” Sambil menyodorkan bungkusan “ buka saja anakku.”
Kerutan di kening Reva terlihat jelas. Apa ini? Pikirnya. Sekilas, benda itu memang tak ada artinya. Bungkusnya saja menggunakan koran. Warnanya pun tak sedap di pandang mata. Kuning dan lusuh. Tapi, apapun isinya, bagi Reva adalah sesuatu yang istimewa. Dibukanya bungkusan itu perlahan.
“Nak, ini adalah pemberian almarhum ayahmu. Ibu sangat senang sekali ketika ayahmu memberikan gamis ini. Gamis ini adalah baju teristimewa bagi ibu.
Ini diberi ayahmu ketika kami menikah. Memang harganya tidak terlalu mahal. Tapi, terimalah nak!”
Begitu mendengar ucapan ibunya itu, Reva tak kuat menahan tangis. Buliran air matanya terus mengalir deras. Tak henti- hentinya ia mengecup kening dan pipi ibunya. Ia sangat bahagia. Ia tahu betul, baju itu adalah baju kesayangan ibunya. Baju yang hanya digunakan sekali ketika pernikahan ibu dengan almarhum ayahnya. Baju gamis berwarna merah jambu denagn renda bunga- bunga mengelilingi ujungnya. Jahitan rapi berwarna putih padu memenuhi sebagian lengan baju itu. Sederhana, tapi anggun jika digunakan.
“Ibu ingin kamu memakainya pada saat Salman mengkhitbahmu.”
sejenak Reva membelalak.
“Ibu tahu dari mana?”
“Nak, 22 tahun lamanya kamu hidup bersama ibu. Mulai dari kecil sampai sekarang. Bagaimana mungkin ibu tidak tahu? Sudahlah, ibu merestuimu nak.”
Lengkap sudah kebahagiaan Reva. Ternyata, ia tak perlu susah- susah untuk meminta restu ibunya. Sebenarnya, ia merasa heran, darimana ibunya tahu bahwa Salman akan mengkhitbahnya? Tapi...sudahlah, itu bukan masalah besar. Yang ada dalam pikiran dan hatinya saat ini adalah, ibunya sudah merestui dirinya dengan Salman. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk masa depan Reva. Sudah cukup ia merasakan getir dan kejamnya kehidupan. Semua orang tak pernah mau hidup susah. Tapi, takdir yang berhak menentukan. Bahagia atau sengsara.

***

Memasuki H-2. sebentar lagi, kebahagiaan yang Reva impikan, sudah ada di depan mata. Kebahagiaan yang tidak akan bisa dibayar dengan apapun. Ia melangkah menuju motor matic kesayangannya. Hari ini adalah hari libur ia bekerja. Ia ingin meluangkan sedikit waktunya untuk sekedar menelusuri dunia maya.
“Aku ingin mencari berita tentang Mesir. Mungkin ada berita terbaru seputar mahasiswa Mesir yang belajar di sana. Yaa...sekedar menjadi pengobat rindu.” Gumamnya dalam hati.
Ia memasuki ruangan yang luasnya 1 x 1 meter. Terdapat kayu penghalang setinggi 2 meter berwarna biru, yang mengahalangi antara komputer satu dengan yang lainnya. Sebuah pendingin ruangan terpampang jelas di atas jam dinding. Tampak di depan pintu sebuah banner yang bertuliskan “Haris Net.”
“Aach...jika aku punya komputer sendiri, aku tak perlu pergi ke warnet. Tapi, tak apalah. Ini semua demi Salman. Meskipun aku tah bisa langsung berkomunikasi dengannya, melihat negara tempat ia belajar saja, aku sudah sangat senang. Hitung- hitung, menambah pengetahuan tentang Mesir lah. Hihihi.” Hiburnya dalam hati.
Diketiknya sebuah kata yang bertuliskan ”Google”.
Reva teringat ketika Salman pernah bercerita, bahwa dirinya sangat senang mengunjungi perpustakaan pertama sekaligus terbesar di dunia. Tapi, apa nama perpustakaan itu? Pikir Reva.
Ia mencoba mengingat kembali kata- kata yang pernah Salman ucapkan kepadanya. Sejurus kemudian, ia teringat nama perpustakaan itu. Kemudian diketiknya lagi dua buah kata yang bertuliskan ”Perpustakaan Iskandariyah”.
Perpustakaan Iskandariyah didirikan pada tahun 323 M oleh Ptolemi 1. penguasa yang diberi gelar Soter ini adalah panglima militer yang sangat mencintai ilmu. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan pertama sekaligus terbesar di dunia. Tidak hanya itu, Perpustakaan Iskandariyah ini merupakan perpustakaan yang lengkap dan bertahan hingga seribu tahun lamanya.
“Hem,,,pantas saja Salman betah berlama- lama di perpustakaan ini. Perpustakaan ini memang gudangnya ilmu.” Gumam Reva.
Kemudian ia mengarahkan mousenya dan menuliskan sebuah kalimat “Khan el Khalili”. Konon katanya, nama Khan El Khalili ini diambil dari nama Princess Jaharkas el Khalili, salah satu putri yang paling berpengaruh di abad ke 14. ternyata pasar Khan el Khalili ini juga berdekatan dengan Masjid Al Husein dan Al Azhar. Terkadang ia membayangkan pergi ke Mesir. Berkeliling di padang pasir luas dan melihat peninggalan jaman kuno. Keinginan yang ia tak tahu kapan akan terwujud. Setelah puas ia berniat kembali pulang. Di perjalanan, Reva sangat senang sekali. Wajahnya berseri bak bunga matahari. Ia tak sabar ingin segera bertemu dengan Salman. Serasa bangun dari tidur, kemudian bertemu dengan pangeran tampan tambatan hati. Memang dirasa sangat berlebihan. Tapi itulah ibarat perasaan Reva saat ini. Sesampainya di rumah, ia segera mencari ibunya. Ternyata ibu tercintanya itu sedang mencuci piring. Merasa tak enak hati, Reva segera menggantikan ibunya. Ia tak mau melihat ibunya bekerja terlalu keras. Karena ia tahu ibunya mengidap penyakit asma. Jika merasa lelah, penyakitnya akan kambuh. Dilihatnya jam, menunjukkan angka 9. Sebelum Reva berangkat kuliah, ia tak pernah lupa mencium tangan suci ibunya. Tradisi yang seolah menjadi bagian hidupnya. Tradisi yang sakral. Senyum tulus ibunya seolah mengatakan: kau adalah satu- satunya harta yang kumiliki. Reva.

***


Semilir angin malam membekukan bulu roma. Cahaya rembulan terlihat redup dari dalam rumah Reva. Tampak di depan televisi, seorang wanita berbaju gamis hitam dengan raut wajah serius sedang menyimak berita yang hampir menyita perhatiannya. Terdengar jelas suara pembaca berita itu. Sangat jelas.

“Berita hari in datang dari Negara Mesir. Telah terjadi bentrokan antara kelompok pemrotes anti pemerintahan dan pendukung presiden Husni Mubarrak pada selasa kemarin. Presiden yang memerintah lebih dari 30 tahun itu, enggan memenuhi permintaan rakyatnya untuk segera turun dari kursi pemerintahan. Beberapa saat setelah presiden Mesir itu menyampaikan pidato, ratusan pemrotes Mesir bentrok dengan polisi. Ini sangat berdampak buruk bagi nasib WNI yang berada di sana. Pasalnya, enam mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, hingga kini belum diketahui kabarnya.” Betapa terkejutnya ibu Reva, ketika menyaksikan berita itu. Pikirannya langsung tertuju pada Salman. Calon menantunya. Ia sangat panik. Apakah anakku sudah tahu mengenai berita ini? Pikirnya. Ia terus berdo’a untuk Salman. Ia berharap agar Salman tetap baik- baik saja di sana. Ia tak tahu persis dimana Salman tinggal. Apakah dekat, atau jauh dengan aksi bentrokan itu. Yang ia khawatirkan, kepulangan Salman akan tertunda karena masalah ini. Mungkin saja, acara wisudanya juga akan ditunda sementara waktu sampai keadaan kembali membaik. Tak lama kemudian, suara motor Reva membuyarkan bayangan buruk wanita itu. Ia segera menghampiri anaknya yang baru saja pulang dari kuliah.
“Nak, kamu sudah tahu mengenai bentrokan yang terjadi di Mesir saat ini?”
“Sudah bu, Reva sudah mengetahuinya di koran.”
“Lantas, bagaimana dengan Salman? Apakah kamu sudah mencari berita tentang keadaannya?”
“Belum. Tapi setelah ini, Reva akan menelponnya. Ibu tenagng saja. Tidak akan terjadi apa- apa dengannya bu.” Tutur Reva.
“Tapi, perasaan ibu sangat tidak enak. Semoga dia baik- baik saja disana.”
“Amin.”
Dengan cepat ia mengambil handphone yang ada di sakunya. Dicarinya nama Salman Al Farisi pada daftar telpon. Sejurus kemudian, Reva segera menelpon kekasih hatinya itu. Tapi, yang terdengar hanya suara operator dari seberang. Berkali- kali ia mencoba, tapi hasilnya tetap sama. Hanya suara operator yang merayap di dalam telinganya. Perasaan cemas sekaligus takut mulai menggelayuti Reva. Matanya beradu pandang dengan mata ibunya. Tanpa disadari, Reva menitikkan air mata bening. Sebening hatinya. Kemudian, tangan lembut dan suci ibunya mendekap erat tubuh Reva. Ibunya mencoba menenangkan anak semata wayangnya itu. Semakin lama, tubuh Reva berguncang hebat. Ibunya tak kuasa melihat anaknya seperti itu. Ibunya terus memeluk Reva erat, erat, dan semakin erat. Ia yakin, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa Salman. Tapi, feelingnya berkata lain. Feeling seorang ibu, yang juga kekasih Allah.

***
Sebenarnya, hari ini adalah hari kepulangan Salman ke Indonesia. Hari yang seharusnya mendatangkan keberuntungan bagi Reva. Hari yang seharusnya sangat berarti dalam hidup Reva. Hari yang membawanya pada titik kebahagiaan abadi. Tapi, berapapun banyaknya hari yang ada, jika takdir tak menyetujuinya, manusia tak bisa berbuat apa- apa. Semuanya telah tercatat dan dan tak pernah bisa di tawar lagi. Reva membuka bungkusan kecil berbalut kertas merah jambu. Di dalamnya terdapat kertas putih bercorak kelabu. Dibukanya bungkusan itu perlahan.




































Seakan air mata Reva ingin pecah dan tumpah. Hatinya bak tertimpa pohon randu berduri. Teramat sakit. Angannya semburat tergusur oleh kesedihan. Tangannya terasa lemah memegang selembar surat dari Salman. Seperti memegang beban seberat 100 kilo. Dipandanginya cincin berhias permata berwarna putih mengkilap di bagian atasnya. Di dalam cincin itu terukir namanya dan Salman. Berkali-kali ia menciumi cincin itu dengan seluruh cintanya. Ia tak kuat menerima semua ini. Ia sangat mencintai Salman. Ia belum siap jika pujaan hatinya itu pergi jauh. Tapi, apa yang bisa ia perbuat? Semuanya terjadi begitu saja. Waktu tak bisa seenaknya mau berputar kembali. Karena takdir telah berkata. Reva hanya bisa pasrah menerimanya.
Salman tertembak setelah ia pulang dari tempat ia di wisuda. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi nyawanya tak bisa di selamatkan. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah. Temannya lah yang menyampaikan berita duka ini pada Reva. Dia juga memberi kabar bahwa, Salman adalah mahasiswa lulusan terbaik di Universitas Al Azhar, Mesir. Sangat disayangkan sekali. Tapi bagaimana pun, kematian Salman merupakan syahid. sekali lagi di katakan, takdir tetap berlaku, dan akan terus berlaku. Manusia harus bisa sabar menerima. Sekarang, takdirlah yang lebih dulu menikmati kebahagiaan Reva.


Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

News Artikel

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. :: Resya's World :: - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger